ABAH MUTAWALLY: PENYEBAR DAKWAH ISLAM AWAL ABAD KE 19 DI KUNINGAN

Salah satu saluran penyebaran dan dakwah Islam yakni melalui lembaga pendidikan. Hal tersebut dipraktekkan oleh KH Siradj Rasyidin. Salah seorang penyebar dakwah Islam di wilayah Kuningan pada awal abad ke 19 dengan mendirikan langgar (mushola) sebagai tempat berdakwah sekaligus sarana belajar bagi para santrinya. Ia dikenal dengan nama KH Mutawally. Menurut tradisi lisan yang berkembang di masyarakat lokal, nama Mutawally diberikan pada saat beliau menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Diceritakan bahwa kapal yang beliau tumpangi mogok di tengah samudra. Berbagai upaya dilakukan oleh para pengurus kapal. Namun hasilnya nihil. Akhirnya, para penumpang melihat ada sosok alim yang merupakan salah seorang penumpangnya. Atas bujukan sekaligus desakan para penumpang sosok alim itupun bersedia untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini. Maka, sosok alim inipun turun dari kapal dan dengan segala karomah yang dimilikinya beliau berjalan di atas air dan mendorong kapal tersebut. Ajaibnya, kapal itupun kembali bergerak hingga akhirnya sampai tujuan. Atas peristiwa ini, beliau mendapatkan gelar Mutawally yang berarti orang yang mampu mengangkat.
Ia dilahirkan di kampung Huludayeuh Desa Timbang Kecamatan Cigandamekar Kuningan pada tahun 1819. Tidak ada keterangan jelas tentang tanggal dan bulan persisnya beliau dilahirkan. Ia berasal dari keluarga tokoh agama. Ayahnya bernama Ki Bagus Konaan yang merupakan salah satu putra Ki Bagus Maijah, tokoh ulama besar yang dimakamkan di Bukit Panyamunan, Gumulung Cirebon.
Pendidikan KH Mutawally diawali dengan bimbingan orang tuanya di pesantren Huludayeuh, Timbang. Selain itu pula belajar agama di beberapa pesantren lokal yang ada di sekitar desa Timbang seperti di Pesantren Ciwedus. KH Mutawally melanjutkan belajar agamanya ke beberapa pesantren diantaranya Pesantren Benda Kerep Cirebon yang didirikan oleh Embah Soleh dan Kiyai Anwarudin pada tahun 1820, bahkan, menurut beberapa cerita, hingga wilayah Jawa Timur yakni berguru kepada KH Kholil Bangkalan, Madura. Tak puas belajar agama di level lokal, Kiyai Haji Mutawally kemudian memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Mekah al-Mukarromah sekaligus untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, Ibadah Haji.
Sepulang dari masa pendidikan agamanya yang cukup luas tersebut, Kiyai Haji Mutawally memutuskan untuk tidak kembali ke Timbang di mana pesantren orang tuanya berdiri. Beliau sendiri kemudian memutuskan untuk membuka pesantren di tempat yang sekarang dikenal dengan Blok Balangko Desa Bojong, atau sekitar 3 kilometer ke sebelah barat dari Desa Timbang.
Langkah pertama yang KH Mutawally lakukan adalah membangun langgar atau mushola yang nanti namanya diidentikan dengan nama kecil beliau, Siradjur Rosyidin At-Thohiriyah. Langgar ini merupakan tempat ibadah pertama yang dibangun di Desa Bojong dan hingga kini masih berdiri kokoh, meskipun asrama yang dulu tempat para santri mondok, termasuk juga rumah asli Kiyai Haji Mutawally, telah berubah fungsi menjadi rumah-rumah pribadi keturunannya. Langgar Siradjur Rosyidin At-Thohiriyah ini berada di blok yang sekarang bernama Blok Balangko Desa Bojong Kecamatan Cilimus Kuningan. Konon Menurut tradisi lisan masyarakat sekitar, kampung tersebut pada awalnya dikenal dengan sebagai tempat yang angker karena dihuni oleh makhluk-makhluk ghaib yang sering menggangusi apapun yang mencoba untuk tinggal di sana. Karenanya, wilayah ini disebut Balangko. Namun, dengan segala karamah yang dimilikinya, Kiyai Haji Mutawally berhasil menaklukan para penghuni ghaib tersebut dan mengusirnya dari tempat tersebut.
(Foto Langgar Siradj Rasyidin Pada Masa Sekarang)
Selanjutnya, Kiyai Haji Mutawally selain di langgar juga pada awalnya menampung para santri di rumahnya yang jika melihat kondisi saat ini berada tepat di sebelah barat mimbar langgar (musholla). Namun seiring dengan berkembangnya jumlah santri yang datang dan mondok, Kiyai Haji Mutawally mulai membangun asrama-asrama yang lokasinya berada di sekitar langgar yang menjadi pusat kegiatan pesantren. Para santrinya datang dari berbagai wilayah baik sekitar Kuningan bahkan hingga beberapa wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Sukabumi, Bogor, Indramayu, Tegal, Brebes dan Pekalongan. Hingga kini banyak keturunan murid-muridnya yang melakukan ziarah ke makamnya secara rutin.
Sementara dari sisi pelajaran, Kiyai Haji Mutawally mengajarkan kepada para santrinya kitab kuning sebagaimana halnya di berbagai pesantren di pulau Jawa yang meliputi ilmu-ilmu fiqh dan terutama ilmu tasawuf atau ilmu hikmah. Selain itu,Kiyai Haji Mutawally juga menyelenggarakan pengajian kitab kuning untuk umum dengan sebutkan pengajian pasaran pada setiap hari Kamis pagi. Tradisi pengajian umum Kemisan ini hingga sekarang masih dilestarikan, meskipun isinya tidak lagi kitab kuning dan pesertanya tidak lagi para santri tapi ibu-ibu majelis taklim.
Dibandingkan dengan ilmu fiqh, Kiyai Haji Mutawally lebih menonjol pada pengajaran ilmu hikmahnya. Hal ini terlihat bahwa warisan yang masih bertahan hingga kini di tangan sebagian keturunannya dan juga santrinya adalah ilmu hikmah seperti terlihat pada KiyaiMuawwaludin, KiyaiMahdum dan KiyaiMu’athoif. Salah satu do’a yang merupakan bagian dari ilmu hikmah dan diajarkan kepada para santrinya adalah
بسم الله الرحمن الرحيم
اللَّهُمَّ نَوِّرْ قُلُوْبَنَا بِنُوْرِ هِدَيَتِكَ كَمَانَوِّرْتَ لْاَرْضِ بِنُوْرِ شَمْسِكَ اَبَدًا وَعَلَّمْنَا بِمَا يَنْفَعُنَا وَانْفَعْنَا يَا رَبِّ بِمَا عَلَمْتَنَا وَاجْعَلْ اَعُمَلُنَا خَالِصَةَ لِوَجْهِكَ الْكَرِيَمَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
Kelebihan Kiyai Haji Mutawally dalam ilmu hikmah selain terlihat pada gelar yang diberikan kepada beliau juga didasarkan pada berbagai cerita lisan yang disampaikan oleh para muridnya. Misalnya banyak diceritakan bahwa ketika beliau melintas di depan markas tentara kolonial di tempat yang sekarang menjadi Polsek Cilimus, para tentara kolonial justru tidak bisa melihatnya. Cerita lainnya adalah ketika pemerintah kolonial melakukan pengawasan yang semakin ketat terhadap para kiyai kharismatik setelah terjadinya banyak pemberontakan kaum pribumi yang dipimpin oleh para tokoh agama/kiyai/ulama selama abad ke 19, Kiyai Haji Mutawally termasuk dalam daftar kiyai yang harus diawasi secara ketat. Akan tetapi menariknya setiap tentara kolonial melakukan inspeksi, mereka ternyata tidak pernah bisa menemukan jalan menuju rumah sang kiyai, padahal nyatanya berada di rumahnya. Kiyai Haji Mutawally wafat pada tanggal 10 November 1953, pada usia kurang lebih 135 tahun dan dikuburkan di pemakaman umum Ciloklok, Cilimus.
(Foto Makam Kiai Abah Mutawally)
Selanjutnya, KH Mutawally selain di langgar juga pada awalnya menampung para santri di rumahnya yang jika melihat kondisi saat ini berada tepat di sebalah barat mimbar langgar (musholla). Namun seiring dengan berkembangnya jumlah santri yang datang dan mondok, KH Mutawally mulai membangun asrama-asrama yang lokasinya berada di sekitar langgar yang menjadi pusat kegiatan pesantren. Para santrinya datang dari berbagai wilayah baik sekitar Kuningan bahkan hingga beberapa wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Sukabumi, Bogor, Indramayu, Tegal, Brebes dan Pekalongan. Hingga kini banyak keturunan murid-muridnya yang melakukan ziarah ke makamnya secara rutin.
Sementara dari sisi pelajaran, KH Mutawally mengajarkan kepada para santrinya kitab kuning sebagaimana halnya di berbagai pesantren di pulau Jawa yang meliputi ilmu-ilmu fiqh dan terutama ilmu tasawuf atau ilmu hikmah. Selain itu, KH Mutawally juga menyelenggarakan pengajian kitab kuning untuk umum dengan sebutkan pengajian pasaran pada setiap hari Kemis pagi. Tradisi pengajian umum Kemisan ini hingga sekarang masih dilestarikan, meskipun isinya tidak lagi kitab kuning dan pesertanya tidak lagi para santri tapi ibu-ibu majelis taklim.
Kelebihan KH Mutawally dalam ilmu hikmah selain terlihat pada gelar yang diberikan kepada beliau juga didasarkan pada berbagai cerita lisan yang disampaikan oleh para muridnya. Misalnya banyak diceritakan bahwa ketika beliau melintas di depan markas tentara kolonial di tempat yang sekarang menjadi Polsek Cilimus, para tentara kolonial justru tidak bisa melihatnya. Cerita lainnya adalah ketika pemerintah kolonial melakukan pengawasan yang semakin ketat terhadap para kiyai kharismatik setelah terjadinya banyak pemberontakan kaum pribumi yang dipimpin oleh para tokoh agama/kiyai/ulama selama abad ke 19, KH Mutawally termasuk dalam daftar kiyai yang harus diawasi secara ketat. Akan tetapi menariknya setiap tentara kolonial melakukan inspeksi, mereka ternyata tidak pernah bisa menemukan jalan menuju rumah sang kiyai, pada KH Mutawally nyatanya berada di rumahnya.
Terakhir, ketika terjadi pencurian beras milik KH Mutawally, pencuri tersebut ternyata tidak menemukan jalan pulang dan malah terus mengelilingi langgar hingga tiba waktu subuh dan para santri dengan keheranan menyaksikan pencuri tersebut lari sambil berkeliling langgar. Pencuri itu baru berhenti ketika ditegur oleh KH Mutawally yang menanyakan sedang apa mereka. Dengan malu mereka menjawab bahwa mereka baru mencuri beras dari gudang milik sang kiyai. Dengan ramah, KH Mutawally bukannya memarahi para pencuri tetapi justru menyuruh pulang ke rumahnya seraya membawa barang curian. Setelah mendapat perintah tersebut, baru para pencuri tersebut menemukan jalan pulang.
Kebesaran namanya terutama melalui keilmuan dan banyaknya santri yang dating dari berbagai daerah sebagaimana terlihat di atas ternyata tidak dapat dilanjutkan oleh anak keturunannya. Jikapun ada lebih menampilkan sebagai para guru ma’rifah yang berprofesi sebagai penasehat spiritual tanpa mampu menarik banyak santri. Akibatnya, pondok pesantren yang didirikan dan dibesarkan oleh KH Mutawally tidak bisa bertahan dan hanya sebuah musholla (langgar) sederhana yang bernama Sirajurrasyidin Ath-Thohiriyah yang masih bertahan. Kegiatannya pun terbatas pada majelis ta’lim ibu-ibu, pengajian al-Qur’an untuk santri kalong bagi anak-anak sekitar dan kegiatan keagamaan insidental seperti mauludan dan lain-lain.
Secara historis, kampung Balangko Desa Bojong Kec. Cilimus, Kab. Kuningan merupakan salah satu pusat pendidikan Islam di wilayah Kuningan. Di kampung ini telah berdiri pondok pesantren sejak tahun pertengahan abad ke 19 dan dipimpin oleh KH. Sirajur Rosyidin atau nantinya setelah menunaikan ibadah haji ke Mekkah lebih dikenal dengan nama Abad Mutawally. Salah satu bukti adanya pondok pesantren ini adalah masih berdirinya dengan kokoh Langgar dengan nama Sirajur Rosyidin At-Thohiriyah. Banyak murid beliau yang datang dari berbagai daerah terutama wilayah utara pulau Jawa bagian Barat mulai dari Pekalongan, Tegal hingga Indramayu. Diantara muridnya adalah Syekh Assegaf, ketua MUI Kota Cirebon pada dekade 1980-an hingga 1990-an. Namun, situasi berubah ketika Abah Mutawally wafat pada tahun 1953 dengan usia sekitar 135 tahun. Para putranya gagal mempertahankan keberlangsungan pesantren ini, hingga hanya menyisakan bangunan langgar Sirajur Rosyidin At-Thoririyah dengan kegiatan rutin yang terbatas hanya pada pelaksanaan sholat fardhu dan majelis ta’lim kamisan.
Respon Masyarakat Terhadap Dakwah KH Mutawally
Pengaruh Kiyai Haji Siradj Rasyidin semakin mendalam di kalangan penduduk, bahkan sampai merembet kepada para pemimpin pribumi.Hal ini dijadikan alasan oleh residen untuk menangkap Kiyai Haji Siradj Rasyidin. Residen Priangan menulis surat ke Batavia yang menyatakan bahwa rakyat lebih menghargai dan patuh kepada Kiyai Haji Siradj Rasyidin daripada kepada Bupati Kuningan. Residen juga melaporkan bahwa Kiai Hasan akan melawan “gubernemen” (pemerintah Hindia Belanda) dan ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam.
Kiyai Haji Siradj Rasyidin adalah seorang ulama yang memperhatikan kondisi umat Islam disekitarnya.Diantara bukti konkret dalam hal ini adalah mendirikan Langgar Siradj Rasyidin.
Dengan adanya Langgar Siradj Rasyidin., maka Langgar Siradj Rasyidin tampil sebagi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat. Dengan didirikannya langgar oleh Kiyai Haji Siradj Rasyidin tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan yang diajarkan oleh Kiyai Haji Siradj Rasyidin itu membawa manfaat juga bagi warga sekitar, khususnya bagi ummat Islam. Sebelumnya telah dijelaskan pada bab di atas Kiyai Haji Siradj Rasyidin dengan didirikannya langgar tidak hanya memberantas kebodohan, tetapi juga mengubah masyarakat dari jurang kegelapan menuju sebuah masyarakat yang sehat dan produktif, serta
Kiyai Haji Siradj Rasyidin pada awalnya hidup dengan rukun bersama masyarakat sekitar, namun dengan dengan hadirnya Kiyai Haji Siradj Rasyidin dan pendirian langgar mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat seperti adanya penolakan dari masyarakat karena tradisi yang sudah turun temurun dilakukan dilarang keras oleh Kiyai Haji Siradj Rasyidin seperti tradisi upacara mipit (upacara dengan membuat sesajian untuk menyuguh Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi padi yang berwenang untuk memberkahi padi) dan upacara walimah yang masih mempertahankan bid’ah, khufarat dan takhayul.
Respon masyarakat disampaikan Bapak Baci selaku masyarakat yang dekat dengan keturunannya merasa bangga bahwa di Blok Balangko ada sosok kiai yang kharismatik yang bisa mengubah keadaan, dan berharap kepada keturunannya yang sampai sekarang mengelola pondok pesantren berharap bisa menjalankan sebagai mana fungsi pesantren yakni membina dan mengembangkan para masyarakat (santri) untuk menjadi manusia muslim yang bertakwa serta mengabdi dengan istikomah pada allah swt serta santri diharapkan mempunyai kesadaran yang tinggi untuk bisa patuh pada kiai dan pemerintah.
Respon Kolonial Belanda Terhadap Dakwah KH Mutawally
Sebelum mendirikan Langgar Siradj Rasyidin, Kiyai Haji Siradj Rasyidin sudah menghadapi dampak yang tidak menyenangkan terutama dari pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimana lazimnya kolonialis, maka setelah dilihatnya bahwa gerakan yang dipelopori Kiyai Haji Siradj Rasyidin itu sangat berpengaruh bagi rakyat. Apalagi setelah meletusnya pembertntakan banyak para kiai dan ulama yang terlibat, maka pemerintah kolonial mulai mengadakan pengawasan yang ketat termasuk juga mengawasi pengajian yang dipelopori oleh Kiyai Haji Siradj Rasyidin.
Pengajian terus diikuti oleh mata-mata sehingga pergerakan menjadi sangat terbatas. Namun ia tetap berjalan lancar. Selain itu pula pemerintah kolonial menggunakan cara lain yaitu mempengaruhi dan memberikan padangan agar tidak meneruskan pergerakannya, tetapi Kiyai Siradj Rasyidin tetap pada pendiriannya serta tidak gentar menghadapi pengaruh pihak-pihak kolonial.
(Cungkup yang melindungi Makam KH Abah Mutawally di Pemakaman Ciloklok Desa Cilimus Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan)
Oleh Agus Kusman, S.Hum., MA (Guru Sejarah dan Penggiat Sejarah Indonesia)