Diskusi polittalks All Eyes On Rafah: Sadarkan Masyarakat Pentingnya Menghentikan Zionisme

Jakarta - Gerakan TurunTangan kembali menggelar program polittalks yang dikemas dalam bentuk diskusi interaktif. Diskusi berlangsung di Infus Garden, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Jumat (21/6/2024) malam.
Project Lead polittalks, Raihan Abed Wahyudi menjelaskan bahwa diskusi politik ini digelar agar masyarakat semakin aware dengan isu-isu politik terkini yang sekarang sedang terjadi baik dalam skala nasional maupun internasional.
Adapun tema yang diangkat dalam diskusi polittalks semalam ‘All Eyes On Rafah: Kepada Siapa Warga Palestina Harus Mengadu?’, dengan menghadirkan empat narasumber di berbagai bidang yang memang concern terhadap isu zionisme yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
“Penting untuk kita angkat kembali isu Palestina ini, agar kita dapat terus aware bahwa ya memang istilahnya don’t stop talking about Palestine. Karena ini adalah salah satu isu yang harus terus disuarakan demi kemerdekaan negara Palestina,” ujar Abed.
Abed berharap tentunya dengan adanya polittalks kali ini dapat semakin menyadarkan masyarakat Indonesia bahkan dunia bahwa kemerdekaan Palestina harus selalu digaungkan dengan berbagai macam cara.
*Sejarah Konflik dan Konsistensi Indonesia*
Moderator polittalks yang merupakan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Adi Zulfa Fauzi membuka diskusi dengan pernyataan bahwa yang dilakukan oleh Israel bukanlah hanya rencana satu malam saja.
“Tetapi ini merupakan grand design yang sudah direncanakan secara matang oleh zionisme Israel untuk menjajah Palestina,” ucap Adi.
Adi pun menegaskan, tidak ada satupun agama di dunia yang menghalalkan yang namanya penjajahan. Ia memberi contoh dalam beberapa forum internasional, bukan hanya negara mayoritas Muslim saja yang membela Palestina, tetapi juga terdapat negara-negara mayoritas Non Muslim yang ikut serta menyuarakan kemerdekaan bagi Palestina.
Narasumber pertama yang merupakan Pengamat Konflik Israel - Palestina, Masyrofah menjelaskan sedikit sejarah adanya penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina.
Masyrofah mengatakan bahwa konflik sudah terjadi sejak tahun 1900-an, di mana terdapat perjanjian dengan iming-iming akan diberi tanah. Hal itulah yang menjadi cikal bakal penjajahan yang terjadi hingga saat ini.
“Sebelum ada gerakan zionisme, antara Palestina dan Yahudi itu hidup damai. Kemudian munculah transaksi jual beli dan konflik tempat tinggal. Lama kelamaan hal ini yang membuat warga asli Palestina terusir dari tanah kelahirannya,” kata Masyrofah.
Masyrofah menegaskan, apa yang terjadi di Palestina bukanlah konflik agama. Melainkan sebuah occupation atau penjajahan atas suatu tanah. Ia membeberkan bahwa ternyata warga Israel kebanyakan merupakan pendatang yang berasal dari luar. Bukan seperti Palestina yang merupakan warga asli sejak zaman dahulu.
Apabila melihat Indonesia, Masyrofah menilai Indonesia merupakan salah satu negara yang konsisten mendukung kemerdekaan bagi Palestina. Walaupun aktif untuk tidak mengikuti salah satu blok, Indonesia tetap terus menyuarakan kebebasan bagi rakyat Palestina.
“Tentunya hal ini berlandaskan pada kebebasan dari segala bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,” pungkas Masyrofah.
*Pentingnya Peran Social Media*
Kemudian narasumber kedua yang merupakan Ketua Umum BKMT dan Aktivis Muslimah, Syifa Fauzia mengatakan bahwa penjajahan Israel terhadap Palestina menjadi suatu hal yang sudah menempel. Bagaimana secara historis tadi, beberapa hal sudah menjadi pemahaman sejarah yang begitu panjang.
“Kita saat ini hidup di zaman social media (orang bebas mengemukakan pandangannya). Kalau sebelum zaman social media, kita pasti pahamnya ini merupakan konflik agama. Dengan adanya social media, orang menjadi paham apa yang sebenarnya terjadi di Palestina,” ujar Syifa.
Syifa mengaku adanya social media menjadi dampak positif karena orang-orang semakin paham. Dan mulai mempunyai hal-hal baru dalam pemikiran kita apa yang sebenarnya terjadi di Palestina.
Ia menegaskan, isu kemanusiaan yang ada di Palestina seakan menjadi wake up call bagi jutaan orang di dunia, untuk kemudian menyadarkan orang-orang apa yang harus dilakukan demi kemerdekaan Palestina.
“Banyak warga Inggris, Amerika Serikat, dan sekitarnya yang sudah paham apa yang terjadi di Palestina, walaupun ini belum merubah cara pandang pemimpinnya. Tapi ini menjadi gerakan umat atau people power yang luar biasa,” ucap Syifa.
Bahkan apa yang terjadi di Palestina tidak jarang sudah mulai masuk ke dalam kehidupan pribadi manusia. Lantas, Syifa memberikan suatu contoh, pernah ketika ia mencoba menutup social media, tetapi hati bergejolak. Rasa ingin terus menyuarakan kemerdekaan bagi Palestina membuat jadi semacam wake up call bagi dirinya.
“Isu Palestina harus terus digaungkan. Kita berikan masukan dan pemahaman ke banyak orang. Cara masuk ke orang-orang yang kurang pemahaman adalah dengan memasukkan nilai-nilai solidaritasnya, supaya perlahan mereka paham dengan apa yang dilakukan,” kata Syifa.
*Kepada Siapa Warga Palestina Mengadu?*
Lebih lanjut, narasumber ketiga yang merupakan Direktur Eksekutif International Politics Forum, Aprilian Cena kembali menegaskan bahwa penjajahan Israel terhadap Palestina bukan merupakan konflik agama, tetapi ini sudah menjadi isu kemanusiaan, wilayah, dan teritorial.
Aprilian pun mengatakan bahwa Yahudi berbeda dengan zionis. Zionis ingin agar Palestina milik para zionis, sedangkan Yahudi tidak berpandangan seperti itu.
Berbicara mengenai dukungan, menurutnya terdapat dua negara yang konsisten mendukung Palestina secara langsung, yaitu Iran dan Lebanon.
“Hingga saat ini mereka tetap mengirimkan bantuan pasukan, pasokan makanan, dan lain sebagainya untuk Palestina,” pungkas Aprilian.
Sedangkan dukungan yang diberikan negara-negara lain seperti Indonesia hanya dapat melakukan tindakan taktis seperti mengecam, menggelar aksi, dan sebagainya.
Jika dilihat dari kacamata hukum, menurut Aprilian negara-negara besar yang mendukung Palestina bukan berarti sepenuhnya mendukung kemanusiaan.
“Malah mereka menjadikan arena tempur yang baru. Karena di belakang Israel terdapat Amerika Serikat yang memiliki pembenci, di antaranya adalah Korea Utara, Cina, dan sebagainya,” ujar Aprilian.
Apabila ditanya kepada siapa Palestina mengadu ketika sidang internasional tidak bisa memerdekakan mereka. Aprilian menjawab, mereka dapat mengadu kepada negara-negara yang saat ini mendukung Palestina.
Ia kemudian memberi contoh NGO seperti Aman Palestin menjadi salah satu pergerakan masif yang bisa jadi tidak bisa disentuh oleh negara. Di mana mereka bisa melakukan gerakan dukungan untuk Palestina.
“People power juga menjadi salah satu contoh di mana semakin banyak orang yang sudah sadar bahwa mereka sudah tidak bisa lagi dipengaruhi oleh pemimpinnya. Ini tentu menjadi nilai plus sebagai bentuk dukungan untuk kemerdekaan Palestina,” ucap Aprilian.
*Alasan Hadirnya NGO Kemanusiaan*
Narasumber terakhir yang merupakan perwakilan dari NGO Aman Palestin, Ustadz Ridwan Kamil kembali menegaskan bahwa musuh Palestina bukan karena Yahudi atau Israelnya. Melainkan gerakan zionis yang dilakukan.
Ustadz Ridwan pun mengatakan, tidak semua orang Yahudi setuju dan sepakat dengan tindakan zionis yang dilakukan untuk menjajah Palestina secara brutal.
“Kalau berbicara kenapa kemudian NGO kemanusiaan hadir? Ya karena ketidakmampuan negara atau merasa tersandera karena tidak mampu membantu Palestina secara langsung. Maka dari itu NGO seperti kami ini hadir di tengah-tengah masyarakat,” kata Ustadz Ridwan.
Informasi lebih lanjut:
+62 813-8721-2897
Leonardus Wical Zelena Arga
Head of Media and Communications TurunTangan