MEMPERTANYAKAN ETIKABILITAS PRESIDEN JOKOWI

MEMPERTANYAKAN ETIKABILITAS PRESIDEN JOKOWI

Ditulis oleh :

Muhamad Riziq Maulana

(Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

 

JOKOWI NIMBRUNG PESTA DEMOKRASI

Diskursus terkait Presiden Jokowi yang ikut campur atau cawe-cawe terhadap Pilpres 2024 sudah terkonfirmasi dengan jelas. Presiden secara terbuka di depan awak media menyatakan akan ikut cawe-cawe dalam hal positif demi negara dan bangsa. Sebelumnya Presiden Jokowi juga sudah memberikan gelegat untuk mendukung salah satu nama dengan menyebutkan paras atau kriteria pemimpin Indonesia selanjutnya. Dan hal ini benar-benar nyata ketika ia hadir dalam deklarasi Ganjar Pranowi sebagai Bacapres dari partai PDI ditambah lagi ia mengundang perselisihan pemerintahan ke istana Presiden kecuali partai Nasdem dengan alasan bahwa Nasdem sudah memiliki pertengkaran sehingga tidak perlu diundang.

Hal demikianlah yang menjadi bahan pertanyaan masyarakat, apakah sebenarnya Presiden boleh ikut cawe-cawe dalam pesta demokrasi 2024? Secara yuridis tertulis sebenarnya tidak ada yang melarang untuk cawe-cawe dalam Pilpres tetapi secara etikabilitas tentu saja tidak baik, sebagai pejabat publik seharusnya memberikan komunikasi dan sikap negarawan yang netral dan tidak perlu cawe-cawe. Dalam konteks politik memang agak sukar untuk bisa dikatakan netral, Presiden selaku pejabat pejabat publik memilki hak dan preferensi tersendiri siapa yang layak dan pantas untuk melanjutkan estapet kepemimpinannya.

Apalagi pendukung Jokowi di dua periode masih banyak dan cukup loyalitas terhadap arah dan kebijakannya. Berdasarkan Lembaga Survei Charta Politika Indonesia menyatakan bahwa ada sekitar 68% pendukung Jokowi yang mendukung Ganjar Pranowo atas dasar yang layak dan mampu mengemban dan melanjutkan program-program Jokowi. Tetapi di survei yang lain justru berbanding terbalik, menurut Lembaga Pengawasan Jakarta (LSJ) menjelaskam bahwa mayoritas pendukung Jokowi pada pilpres sebelumnya mendukung Prabowo Subianto sebagai Presiden 2024 dengan persentase mencapai 44,3%. Apapun presentasinya dari berbagai survei yang telah dilakukan perlu diakui bahwa Presiden Jokowi masih memiliki poros dukungan yang banyak. Sehingga jika ia menaruhkan saja preferensi politiknya secara terbuka untuk mendukung salah satu kandidat maka akan menjadi nilai lebih dan pendongkrak suara di berbagai daerah. Tetapi perlu diingat bahwa pengawasan itu salah satu alat untuk melihat potensi tetapi politik itu dinamis kapan saja bisa berubah, seperti halnya Erdogan yang menurut pengawasan tidak diuntungkan. Namun, pada kenyataannya dialah yang terpilih menjadi Presiden Turki.

 

Terlepas dari itu, masyarakat bisa memilih sesuai dengan preferensinya atau pandangan politiknya terhadap bacapres tanpa perlu Jokowi mengusung salah satu kandidat. Cawe-cawe tersebut dikecam oleh banyak pihak salah satunya ialah Denny Indrayana dengan jelas dan tegas di berbagai media dengan analisis yang ditulisnya bahwa Jokowi mendukung Pranowo, mencadangkan Prabowo, dan menjegal Anies. Setidaknya ada tiga hal yang selalu diulang-ulang oleh seorang akademisi Roky Gerung terkait kriteria seorang pemimpin yakni: Etikabilitas, Intelektualitas, dan elektabilitas. Ia menjelaskan bahwa pemimpin yang diharapkan ialah pemimpin yang tidak hanya modal terkenal (elektabilitas atau populer) tetapi membawa gagasan kemajuan dengan tetap pada jalur etik yang benar. Seperti apa yang disampaikan Aristoteles bahwa etika adalah pendasaran (fundamental) politik menemukan dasar kodratinya pada etika. Dengan demikian para politikus harus memiliki kemampuan beretika politik, apalagi sebagai pemimpin suatu negara (Presiden) tentunya sudah menjadi kewajiban meskipun tidak tertulis secara eksplisit. Jangan sampai Presiden mengaktualisasikan konsep Nicollo Machiavelli yang secara garis besar meniadakan etika demi mempertahankan jabatan dan kekuasaan semata.

TRIAS ETIKA JOKOWI YANG DIPERTANYAKAN

Pertama, Jokowi membiarkan staf kepresidenan Moeldoko untuk mengambil alih atau dalam bahasa pembohongnya “mencopet” Partai Demokrat. Jika ia membiarkan, artinya ia setuju dan bahkan bisa mendukung atas tindakan tersebut. Jika Jokowi mengafirmasi tindakan Moelodoko maka perlu dipertanyakan kembali etikanya sebagai pejabat pemerintah yang seharusnya memberikan sikap baik dengan teguran ataupun   reshuffle. ini membuktikan bahwa Jokowi mempunyai kepentingan tersendiri yang membuat masyarakat menilai pembohong. Namun, perlu diketahui bahwa seberapapun banyaknya alasan jika seorang berbuat tidak sebagaimana mestinya maka harus melakukan tindakan yang tegas bukan malah membiarkan atau pura-pura tidak mengetahui. Dan sangat mustahil bagi Jokowi untuk tidak memutuskan kudeta Moeldoko terhadap Demokrat. Karena jika Moldoko berhasil merebut, maka akan ada kemungkinan besar perubahan konfigurasi partai koalisi dan dapat mengancam pencalonan Anies Baswedan karena kurang memenuhi ambang batas 20% Presidential Threshold.

Kedua, Jokowi membiarkan pencopotan Hakim Aswanto yang digantikan oleh Guntur Hamzah. Hakim Aswanto dicopot dengan alasan selalu menganulir prodak hukum DPR yang salah satunya Perpu Cipta Kerja. Hal ini dirasa bermasalah karena dicopot secara politis bukan berdasarkan kesalahan semata, tentu kejadian ini dapat mengancam etika konstitusi yang telah disepakati. Pelanggaran konstitusi ini dibiarkan saja oleh Jokowi yang secara tidak langsung mengafirmasi tindakan kesewenagan DPR, sebagaimana dalam adagium hukum Qui tacet consentire videturyang artinya siapa yang berdiam diri maka dianggap setuju. Dan Pengaruhnya sampai pada putusan MK No. 112/PUU-XX/2022 terhadap perubahan masa Jabatan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun, pergumulan 5 banding 4 hakim konstitusi memberikan pengertian bahwa turunnya Aswanto memberi dampak yang luar biasa. Padahal kinerja KPK sendiri dirasa berjalan pada lawan dan tumpul pada teman-temannya, pendapat ini sampaikan Denny Indrayana pada media dan puisinya.

Ketiga, Jokowi menggunakan fasilitas publik untuk kepentingan dirinya sendiri atau perlindungan. Jokowi dengan percaya diri ia mengatakan tidak mengundang Nasdem (koalisi pemerintah) karena sudah punya pertengkaran sendiri, artinya ia seperti berbicara kepada khalayak umum bahwa pertemuannya di Istana adalah urusan yang akan dibangun. Sudah seharusnya fasilitas publik (Istana) tidak perlu dipakai jika hanya berkaitan dengan kepentingan diri sendiri dalam konteks ini adalah korelasi. Secara etika politik hal ini akan mendatangkan kegaduhan dan persepsi buruk atas perbuatannya sehingga beberapa pihak mengecam dengan keras.

 

MENGUATKAN TUJUAN AWAL

Setidaknya ketiga etika yang kurang baik tersebut tercakup di atas pernyataan yang akan cawe-cawe dalam Pilpres 2024. Ikut campur yang dinarasikan di depan publik sangatlah tidak etis, karena akan membahayakan nilai-nilai demokrasi yang selama ini menurun dan tergerus. Seharusnya Jokowi tetap fokus terhadap kinerjanya di akhir masa jabatan ini, sehingga ia bisa mendarat dengan prestasi-prestasi yang akan dikenang oleh bangsa ini bukan malah sebaliknya. Jokowi yang sudah dua periode harusnya lebih tenang tidak perlu terlalu jauh hanya pada pemusnahan perdamaian agar pemilu ini berjalan damai dan adil.

Niat baik Jokowi untuk membangun Indonesia lebih maju jangan sampai terkontaminasi oleh hal-hal yang sifatnya multitafsir bagi masyarakat. Jika ada kegaduhan di dalam Istana berarti ada sesuata yang dikhawatirkan dan bisa jadi masyarakat menganggap bahwa Jokowi takut kehilangan kekuasaan. Maka, Jokowi tak perlu khawatir terhadap tiga calon pemuda terbaik bangsa yang telah mendeklarasikan akan mengikuti Pilpres 2024 ini. Namun, yang lebih penting dari semua itu ialah ia tidak memberikan beban yang terlalu berat termasuk utang negara kepada Presiden selanjutnya. Langkah sangat bijak jika Jokowi tidak perlu cawe-cawe dan terus fokus untuk menumbuhkan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, dan membangun sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga janji-janji telah terucap bisa diselesaikan dengan tuntas, pendirian janji harus dibayar? Komitmen kerendahan hati tersebutlah yang harus dipertegas, fokus dan tak perlu cawe-cawe ataukah ia mau jadi cawapres di 2024?. (AK)